Rabu, 04 April 2012

Agama dan Negara


Makalah
Agama dan Negara
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mandiri mata kuliah PPKN
Dosen: Ridwan Eko Prasetyo

 
Disusun oleh:
Nova Vaozia SA
1211307087



Fakultas syari’ah dan hukum
Universitas islam negeri sunan gunung djati bandung
2011-2012

Kata pengantar

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah swt., pencipta semesta alam dan ilmu pengetahuan. Allah swt., yang telah membimbing dan memberikan taufik dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah yang berjudul “Hak Asasi Manusia (HAM)” disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Pendidikan Kewarganegaraan”, namun makalah ini juga bisa berguna bagi para pemabaca dan bisa menambah ilmu pengetahuan mengenai hak asasi manusia khususnya.
Dewasa ini sering banyak diperbincangkan atau diperdebatkan mengenai hak asasi manusia, maka dari itu pembahasan hak asasi manusia penting untuk dikaji dan dipelajari lebih baik.
Penyusun banyak mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang atas kerjasamanya, makalah “Hak Asasi Manusia (HAM)” ini dapat diselesaikan.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan, baik dari kelengkapan isi maupun dari cara penyajiannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penyusun harapkandemi penyempurnaan makalah ini. Terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.



Bandung, Nopember 2011

Penyusun        


Daftar isi

KATA PENGATAR......................................................................................................         i
DAFTAR ISI...................................................................................................................        ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................        1
1.1  Latar Belakang............................................................................................................        1
1.2  Rumusan Masalah.......................................................................................................        1
1.3  Tujuan Penulisan.........................................................................................................        1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................        2
2.1 Pengertian Agama dan Negara....................................................................................        2
A. PengertianAgama.........................................................................................................        2
B. Pengertian Negara........................................................................................................        2
2.2 Hubungan Agama dan Negara dalam  Islam..............................................................        3
2.3 Paradigma Teoristik Islam tentang Negara.................................................................        4
2.4 Hubungan Islam dan Negara di Indonesia..................................................................        5
2.5 Hubungan Agama dan Negara menurut Beberapa Paham..........................................        8
BAB III PENUTUP........................................................................................................      10
3.1 Simpulan......................................................................................................................      10
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................      12



Bab i
Pendahuluan

1.1  Latar Belakang
Kajian Negara dan agama terus melingkar pada persoalan hubungan agama dan Negara. Persoalan ini sebenarnya tidak hanya berlaku di dalam satu agama saja, melainkan  seluruh agama di dunia ini. Namun topik hubungan agama dengan negara diarsakan tidak begitu menarik perhatian lagi bagi para pemikir di negeri Barat, karena memang pendirian yang dianut oleh para pemikir kenegaraan dalam hukum disana boleh dikatakan telah memperoleh kesepakatan bahwa antara agama dan negara terjadi pemisahan total.[1]
Saat ini akan dibahas mengenai hubungan agama dan Negara, namun khususnya hubungan agama dan Negara dalam Islam dan hubungan Islam dan Negara di Indonesia.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari agama dan Negara?
2.      Bagaimana hubungan agama dan Negara dalam Islam?
3.      Bagaimana paradigma teoristik islam tentang negara?
4.      Bagaimana hubungan islam dan Negara di Indonesia?
5.      Bagaimana hubungan agama dan negara menurut beberapa paham?

1.3  Tujuan
1.      Mengetahui pengertian dari Negara dan agama.
2.      Mengetahui hubungan agama dan Negara dalam Islam.
3.      Mengetahui paradigma teoristik islam tentang negara.
4.      Mengetahui hubungan Islam dan Negara di Indonesia.
5.      Mengetahui hubungan agama dengan negara menurut beberapa paham.


Bab ii
Agama dan Negara

2.1 Penegertian Agama dan Negara
A.    Pengertian Agama
Agama adalah suatu ‘takhayul’ yang dengannya manusia terikat untuk memenuhi semangat mencari keadilan mereka, lalu mereka kehilangan kegelisahan mereka. Agama tidak lain adalah sebuah candu dan tidak pernah dapat menciptakan gerakan eksternal yang objektif untuk merealisasikan kebenaran.[2]
Dalam bahasa Inggris istilah yang digunakan adalah Religion yaitu ikatan manusia dengan Tuhan atau Tuhan-Tuhan saja.[3]

B.     Pengertian Negara
Menurut Roger H. Soulta, negara didefinisikan dengan alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat. Lain halnya dengan Harold J. Laski, ia mendefinisikan negara merupakan suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Max Weber pun mendefinisikan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah. Sedangkan menurut Robert M. Mac Iver, negara diartikan dengan asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberikan kekuasaan mereka.
Namun secara terminologis, negara diartikan dengan organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu yang mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Dari beberapa pengertian Negara tersebut dapat dirumuskan kembali bahwa Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warganegarnya untuk taat pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.[4]
2.2 Hubungan Agama dan Negara dalam Islam
Di kalangan umat Islam pembicaraan hubungan agama dan negara berkaitan langsung dengan hubungan istilah dalam Islam menyagkut din (agama) dan dawlah (negara). Terdapat tiga aliran utama tentang hubungan Islam dan agama.[5] Aliran pertama berpandangan bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyagkut hubungan antar manusia dengan Tuhan, melainkan Islam adalah agama yang sempurna, paling tinggi, dan yang paling lengakap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Tokoh utama dalam aliran ini adalah Syekh Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan Maulana Abdul A’la Al-Maududi.
Aliran kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, nabi Muhammad hanya sebagai nabi dan rasul biasa seperti halnya nabi-nabi sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan agama. Rasul bukan dan tidak pernah menjadi seorang kepala Negara. Tokoh utama dari aliran ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Dr. Thaha Husein.
Dan aliran ketiga berpendirian diantara kedua aliran di atas, yakni menolak pandangan bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Kemudian aliran ini juga menolak pandangan bahwa Islam adalah dalam pengertian Barat yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Diantara tokoh aliran ini adalah Dr. Mohammad Husein Haikal.

2.3 Paradigma Teoristik Islam tentang Negara
Dalam konsepsi Islam, dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tidak ditemukan rumusan tentang Negara secara eksplisit, hanya saja di dalam al Qur’an dan al Sunnah terdapat prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu, konsep Islam tentang Negara juga berasal dari tiga paradigma, yaitu:
1.      Paradigma tentang teori khilafah yang dipraktikkan sesudah Rasulullah saw., terutama biasanya merujuk pada masa Khulafa al Rasyidin
2.      Paradigma yang bersumber pada teori Imamah dalam paham Islam Syari’ah
3.      Paradigma yang bersumber dari teori Imamah atau pemerintah.
Teori tentang Khalifah menurut Amien Rais, dipahami sebagai suatu misi kaum muslimin yang harus ditegakkan di muka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah swt., maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaannya, al-Qur’an tidak menunjukkan secara terperinci, tetapi dalam bentuk global saja. Sedangkan untuk teori Imamah, Amien lebih lanjut mengatakan kata Imamah (dalam pengertian Negara atau state) dalam al-Qur’an tidak tertulis. Akan tetapi yang dimaksudkan dengan Imamah  itu adalah kepemimpinan yang harus diikuti oleh umat Islam, hal itu jelas ada dalam Al-Qur’an. Artinya al-Qur’an menyuruh kaum muslimin untuk mengikuti pimpinan yang benar, yang terdiri dari manusia-manusia atau pemimpin yang menggunakan Islam sebagai patokan kepemimpinannya.[6]
Dalam Islam ada juga pemisahan antara negara dan agama, menurut Minteradja, Islam dapat diartikan baik sebagai agama dalam arti senpit, maupun sebagai agama dalam arti luas.[7]
Dalam lintasan sejarah dan opini teoritisi politik Islam ditemukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan agama dan negara, antara lain terbagi dalam tiga paradigma, yaitu:
1.      Paradigama  Integralistik
Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep hubungan agama dan negara yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau negara. Konsep seperti ini sama dengan konsep teokrasi.
2.      Paradigma Simbotik
Menurut konsep ini hubungan agama dan negara dipahami saling membutuhkan dan saling timbal balik. Dalam konteks ini, agama membutuhkan negara sebagai instrument dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.
3.      Paradigma Sekularistik
Paradigm sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi.[8]
2.4 Hubungan Islam dan Negara di Indonesia
Secara umum hubungan Islam dan Negara di Indonesia dapat digolongkan kedalam dua bagian, yakni pertama hubungan yang bersifat antagonistik. Hubungan ini mencirikan adanya ketegangan antara Negara dan Islam sebagai suatu agama. Misalnya pada hubungan ini eksistensi Islam politik (political Islam) pada masa kemerdekaan sampai pada pasca revolusi pernah dianggap sebagai pesaing kekuatan “ekstrem kanan” yang potensial dapat menandingi eksistensi Negara. Di sini Negara terus berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi terhadap gerak ideologis polotik Islam.
Dan kedua hubungan yang bersifat akomodatif. Hubungan model ini setidaknya terjadi pada medio 1980-an. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya peluang umat Islam dalam mengembangkan wacana politiknya dan munculnya kebijakan-kebijakan yang dianggap positif bagi kalangan umat Islam.
Ada beberapa alasan mengapa tiba-tiba Negara bisa begitu mesra atau harmonis dengan Islam, misalnya menurut Affan Gaffar, yaitu pertama,dari sisi pemerintah, Islam merupakan kekuatan yang tidak bisa diabaikan yang pada akhirnya bila diletakkan pada posisi pinggiran akan menimbulkan masalah politik yang sangat rumit. Oleh karena itu suadah sewajarnya diakomodasi, sehingga kemungkinan konflik dapat diredam lebih dini. Kedua, di kalangan pemerintahan sendiri terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu fobia terhadap Islam, bahkan memiliki dasar keislaman yang sagat kuat sebagai akibat dari latar belakangnya, misalnya B.J. Habibie, Emil Salim, dan lain sebagainya. Mereka tentu saja berperan dalam membentuk sikap politik pemerintah paling tidak untuk tidak menjauhi Islam. Dan ketiga, adanya perubahan persepsi, orientasi, sikap dan prilaku politik di kalangan Islam itu sendiri.[9]
Mengkaji hubungan agama dan negara di Indonesia secara umum dapat digolongkan kedalam dua bagian, yaitu:
1.      Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik
Eksistensi Islam politik (political Islam) pada masa kemerdekaan dan sampai pada pasca revolusi pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kekuasaan negara. Persepsi tersebut telah membawa implikasi terhadap keinginan negara untuk dapat berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi terhadap gerak ideologis politik Islam.
Setelah pemerintahan Orde Baru memantapkan kekuasaannya, terjadi kontrol yang berlebihan yang diterapka oleh Orde Baru terhadap kekuatan ploitik Islam, terutama pada kelompok radikal yang dikhawatirkan semakin militant dan dikhawatirkan menandingi eksistensi negara.
Realitas empirik inilah yang kemudian menjelaskan bahwa hubungan agama dan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistic, dimana negara betul-betul mencurigai Islam sebagai kekuatan yang potensial dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain, umat Islam berdiri sendiri pada masa itu memiliki ghirah yang tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideology dalam menjalankan pemerintahan.

2.      Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Akomodatif
Menurut Thaba, munculnya sikap akomodatif negara tehadap Islam lebih disebabkan oleh kecenderungan bahwa umat Islam Indonesia dinilai telah semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asas tunggal Pancasila. Selain itu, munculnya kebijakan negara terhadap Islam juga menjadi bagian yang penting dalam memahami hubungan agama dan negara di masa awal 1980-an, misalnya pengesahan RUU Pendidikan Nasional, pengesahan RUU Pendidikan Agama, munculnya ICMImserta munculnya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang secara massif membangun ratusan masjid di hamper seluruh Indonesia.
Lain halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bahtiar. Ia mengatakan bahwa ada dua alasan yang mendasari negara melakukan akomodasi terhadap Islam, yaitu:
·         Selama 25 tahun terakhir, umat Islam mengalami proses mobilisasi sosial-ekonomi-politik yang berarti. Hal ini disebabkan oleh pembangunan ekonomi dan meluasnya akses ke pendidikan tinggi modern. Mereka mentransformasikan kedalam entitas level menengah, baik secara sosisal, ekonomi maupun politik.
·         Adanya transformasi pemikiran dan tingkah politik generasi baru Islam. Umat Islam telah mengalami transformasi intelektual dan aktivisme yang semula bersifat legalistic-formalistik menjadi lebih substansialistik.[10]
2.5 Hubungan Agama dan Negara menurut Beberapa Paham
A. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Teokrasi
Dalam paham Teokrasi, hubungan agama dengan negara digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena menurut paham ini, pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan. Segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas perintah Tuhan.
Dalam perkembangannya paham teokrasi terbagi kedalam dua bagian, yakni paham teokrasi langsung dan teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung paham, pemerintah diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula. Adanya negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula. Sementara menurut sistem pemerintah teokrasi tidak langsung yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan yang memerintah adalah raja atau kepala negara yang memiliki otoritas atas nama Tuhan. Kepala negara atau raja diyakini memerintah atas nama Tuhan.
Dalam pemerintahan teorkasi tidak langsung, sistem dan normanorma dalam negara dirumuskan berdasarkan firman-firman Tuhan. Dengan demikian, negara menyatu dengan agama. Agama dan negara tidak dapat dipisahkan.

B.Hubungan Agam dan Negara menurut Paham Sekuler
Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara. Dalam negara sekuler tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan duniawi. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua paham ini menurut paham sekuler tidak dapat disatukan.



C.     Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Komunisme
Paham komunisme memandang hakekat hubungan negara dan agama berdasarkan pada filosofi materialism-dialektis dan materialism-historis. Paham ini menimbulkan paham atheis. Agama dalam paham ini dianggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri. Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat negara.[11]

D.    Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Moderasi
Paham ini yaitu paham sintesa antara paham teokrasi dan sekuler. Paham ini beranggapan bahwa antara negara dan agama tidak memiliki hubungan seperti hubungan yang diyakini oleh paham teokrasi.
Dan dalam paham ini juga tidak sepakat dengan paham sekuler yang memisahkan dan membedakan antara negara dan agama, paham ini berpendirian bahwa dalam agama terdapat nilai-nilai baik, seperti keadilan dan moral, dan sistem keteraturan. Sementara negara memiliki sistem kekuatan untuk mengejawantahkan  tujuan negara, seperti kesejahteraan dan keamanan negara. Jadi dari sudut pandang ini, hubungan antara negara dan agama dipertautkan oleh nilai dan sistem yang sama.
Paham moderasi ini lazim berkembang di negara-negara yang mengklaim sebagai “bukan negara agama juga bukan negara sekuler”. Paham ini misalnya berkembang di negara Indonesia.[12]


Bab iii
Penutup
3.1  Simpulan
Negara merupakan suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warganegaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekyasaan yang sah.
Dalam hubungan agama dan Negara dalam Islam terdapat tiga aliran utama hubungan antara agama dan Islam, yaitu:
·         Aliran pertama, islam bukan semata-mata agama dalam pengertian Barat
·         Aliran kedua, Islam adalah agama dalam pengertian Barat
·         Aliran ketiga, dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan , tatapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
Paradigma teoristik Islam tentang Negara terdiri dari:
·         Paradigma teori khalifah
·         Paradigma yang bersumber dari teori Imamah
Teori Imamah di bedakan menjadi dua, yaitu:
·         Dalam paham Islam Syari’ah
·         Bersumber dari Imamah atau pemerintahan
Secara umum hubungan agama dan negar terdiri dari du sifat, yaitu:
·         Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik
·         Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Akomodistik
Ada beberapa paham yang menilai tentang keterkaitan antara agama dan negara diantaranya:
·         Paham Teokrasi
·         Paham Sekuler
·         Paham Komunisme
·         Paham Moderasi
Memang antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan, yakni melalui individu waraga negara terdapat pertalian tak terpisahkan antara motivasi atau sikap batin bernegara dan kegiatan atau sikap lahir bernegara. Namun antara keduanya tetap harus dibedakan dalam dimensi dan cara pendekatannya. Karena suatau negara tidak mungkin menempuh dimensi spiritual guna mengurus dan mengawasi sikap batin warga negara.


DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, 2005. Pendidikan Kewargaan (Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani), Bandung: Prenada Media.
Effendi, Bahtiar, 2001. Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press.
Madjid, Nurcholis, 1995. Agama dan Negara dalam Islam, Telaah Kritis atas Fiwh Siyasah Sunni dalam Budhy Munawar Rachman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina.
Muhammad, Husaini B., 2003. Mencari Hakikat Agama, Bandung: Mizan Pustaka.
Syadzali, H. Munawir, 1993. Islam dan Tata Negara, Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Tahir, Muhammad A., 2003. Negara Hukum, Jakarta: Bulan Bintang.
Thaba, Abdul Azis, 1996. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press.
Sofhian, Subhan dan Asep Sahid G., 2011. Pendidikan Kewarganegaraan,  Bandung: Fokusmedia.



[1] Syaid M. Husain Bahesyti, 2003 h.49
[2] Sayyid M. Husain Behesyti, 2003 h.51
[3] Prof. Dr. H. Muhammad Tahir Azhary, SH., 2003 h. 18
[4] Dr. Azyumardi Azra, MA., 2005 h.42
[5] Munawir Sjadzali, 1993 h.1-2
[6] Azyumardi Azra. MA., 2005 h.42-43
[7] Ibid., h.91
[8] Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., 2005 h.62-63
[9] Asep Sahid G, Fh, M.Si., dan Drs. H. Subhan S, M.Pd., 2011 h.108
[10] Bahtiar Effendy, 2001 h.39-40
[11] Prof. Dr. Azyumardi Azra, 2005. h.59-60
[12]  Asep Sahid G, Fh, M.Si., dan Drs. H. Subhan S, M.Pd., 2011 h.106

Tidak ada komentar:

Posting Komentar